alingga
merupakan sebuah kerajaan bercorak Hindu yang muncul di Jawa Tengahsekitar abad
ke-6 masehi. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di
suatu tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Sumber
sejarah kerajaan ini masih belum jelas dan kabur, kebanyakan diperoleh dari
sumber catatan China, tradisi kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan
yang disusun berabad-abad kemudian pada abad ke-16 menyinggung secara singkat
mengenai Ratu Shima dan kaitannya dengan Kerajaan Galuh. Kalingga telah ada
pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok.
Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan
barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Pengaruh
kerajaan kalingga sampai daerah selatan Jawa Tengah, terbukti diketemukannya
prasasti Upit/Yupit yang diperkirakan pada abad 6-7 M. Disebutkan dalam
prasasti tersebut pada wilayah Upit merupakan daerah perdikan yang
dianugerahkan oleh Ratu Shima. Daerah perdikan Upit sekarang menjadi Ngupit.
Kampung Ngupit adalah kampung yang berada di Desa Kahuman/Desa Ngawen,
Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten. Prasasti Upit/Yupit sekarang disimpan di
kantor purbakala Jateng di Prambanan.
Terdapat
kisah yang berkembang di Jawa Tengah utara mengenai seorang Maharani legendaris
yang menjunjung tinggi prinsip keadilan dan kebenaran dengan keras tanpa
pandang bulu. Kisah legenda ini bercerita mengenai Ratu Shima yang mendidik
rakyatnya agar selalu berlaku jujur dan menindak keras kejahatan pencurian. Ia
menerapkan hukuman yang keras yaitu pemotongan tangan bagi siapa saja yang
mencuri. Pada suatu ketika seorang raja dari seberang lautan mendengar mengenai
kemashuran rakyat kerajaan Kalingga yang terkenal jujur dan taat hukum. Untuk
mengujinya ia meletakkan sekantung uang emas di persimpangan jalan dekat pasar.
Tak ada sorang pun rakyat Kalingga yang berani menyentuh apalagi mengambil
barang yang bukan miliknya. Hingga tiga tahun kemudian kantung itu disentuh
oleh putra mahkota dengan kakinya. Ratu Shima demi menjunjung hukum menjatuhkan
hukuman mati kepada putranya. Dewan menteri memohon agar Ratu mengampuni
kesalahan putranya. Karena kaki sang pangeranlah yang menyentuh barang yang
bukan miliknya, maka sang pangeran dijatuhi hukuman dipotong kakinya
Berdasarkan
naskah Carita Parahyangan yang berasal dari abad ke-16, putri Maharani Shima,
Parwati, menikah dengan putera mahkotaKerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak,
yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki
cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh,
yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya
yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).
Setelah
Maharani Shima meninggal pada tahun 732 M, Ratu Sanjaya menggantikan buyutnya
dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram,
dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu
Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi
Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan
memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.
Pada
abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang diperkirakan terletak di
utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling didapat dari prasasti
dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-ling menjadi wilayah
taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian jaringan perdagangan
Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang sebelumnya telah ditaklukan
Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing kuat jaringan perdagangan
Sriwijaya-Buddha.
Di
Puncak Rahtawu (Gunung Muria) dekat dengan Kecamatan Keling di sana terdapat
empat arca batu, yaitu arca Batara Guru, Narada, Togog, dan Wisnu. Sampai
sekarang belum ada yang bisa memastikan bagaimana mengangkut arca tersebut ke
puncak itu mengingat medan yang begitu berat. Pada tahun 1990, di seputar
puncak tersebut, Prof Gunadi[3] dan empat orang tenaga stafnya dari Balai
Arkeologi Nasional Yogyakarta (kini Balai Arkeologi Yogyakarta) menemukan
Prasasti Rahtawun. Selain empat arca, di kawasan itu ada pula enam tempat
pemujaan yang letaknya tersebar dari arah bawah hingga menjelang puncak.
Masing-masing diberi nama (pewayangan) Bambang Sakri, Abiyoso, Jonggring
Saloko, Sekutrem, Pandu Dewonoto, dan Kamunoyoso.
Ada
beberapa hal penting yang bertautan positif antara Kerajaan Kalingga yang
bercorakkan Hindu Siwais dengan dunia Peradaban Islam, yaitu dalam sejarah[4]
Islam pada tahun 30 Hijriyah atau 651 M Khalifah Utsman bin Affan pernah
mengirimkan utusanya ke Daratan Cinadengan misi mengenalkan Islam, waktu itu
hanya berselang 20 tahun dari wafanya Rasulullah SAW dan utusan tersebut
sebelum sampai tujuan bersinggah dulu di Nusantara. Pada masa pemerintahan
Utsman bin Affan (644-657 M) juga pernah mengutus delegasinya bernama Muawiyah
bin Abu Sufyan pernah mengirimkan utusanya ke tanah Jawa yaitu ke Jepara (pada
saat itu namanya Kalingga).
Hasil
kunjungan duta Islam ini adalah raja Jay Shima, putra Ratu Shima dari Kalingga,
masuk Islam, kemudian kalangan bangsawan Jawa yang memeluk Islam adalah Rakeyan
Sancang seorang Pangeran dari Tarumanegara, Rakeyan Sancang hidup pada
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (656-661) . Rakeyan Sancang diceritakan, pernah
turut serta membantu Imam Ali dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan
Afrika Utara, serta ikut membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan
Sind (644-650 M). Kemudian yang tercatat dalam sejarah raja Sriwijaya yang
masuk Islam adalah Sri Indravarman setelah kerusuhan Kanton meletus dimana
banyak imigran muslim Cina masuk ke wilayah Sriwijaya yang terjadi pada Islam
masa khalifah Umar bin Abdul Aziz (Dinasti Umayyah).
Sumber : wikipedia
0 komentar:
Posting Komentar