Tan Malaka ditangkap polisi rahasia Inggris di Hong Kong pada 1932. Setelah berbulan-bulan Tan Malaka ditahan di penjara, polisi rahasia Inggris memutuskan membuangnya ke Shanghai.
Namun dalam perjalanan, Tan Malaka berhasil mengecoh polisi atau lebih tepatnya intel Inggris yang mengawasinya dan turun di pelabuhan Amoy. Tan sadar Inggris tak sebaik yang dikesankan.
Meski Inggris menolak menyerahkan Tan ke polisi Belanda saat di Hong Kong, bukan berarti hal itu didasarkan atas kebaikan negeri ‘Richard the Lion Heart’ itu. Undang-undang Inggris memang menyatakan akan melindungi politikus yang diburu jika berada di wilayah kekuasaannya.
Namun, Belanda adalah sahabat Inggris. Tan sadar dia akan kembali ditangkap jika sampai di Shanghai. Tan lantas melanjutkan perjalanannya di darat. Namun, penyakit yang sudah lama dideritanya kembali kambuh.
“Penyakit itu memangnya tiada keras, tiada pernah memaksa saya berbaring lebih dari satu hari. Tetapi cukup keras untuk mematahkan nafsu makan, apalagi nafsu membaca. Sedikit saja saya salah makan (banyak makan daging), maka pencernaan dan tidur terganggu. Akibatnya ialah pusing kepala dan sakit perut. Mudah sekali kemasukan angin. Demikianlah kelemahan badan itu terus menerus antara tahun 1925 dengan tahun 1935,” kata Tan Malaka dalam biografinya ‘Dari Penjara ke Penjara Jilid II.’
Terapis dan suntikan yang diberikan oleh sejumlah dokter didikan Barat tak juga menyembuhkan penyakitnya. Padahal para dokter telah bekerja berdasarkan ilmu pengetahuan modern dan ilmu bukti. Penyakit Tan justru berhasil disembuhkan oleh seorang tabib atau sensei Tionghoa.
“Kesehatan itu dikembalikan oleh seorang sensei yang tinggal lebih dari satu jam perjalanan dari Lwe melalui Desa So-Lao dan akhirnya mendaki dan menuruni sebuah bukit. Lupa saya nama desa itu, mungkin juga Chia-be. Saya sebutkan saja Chia-be,” kata Tan.
Tan mengaku kerap mendengar kisah kemanjuran jamu dari tabib itu. Tan hanya ingat tabib itu nama keturunannya Se. Para pasien biasanya memanggil sang tabib dengan panggilan Sensei Choa dari Chia-be.
Saat itu Tan ingin sekali berobat ke Sensei Choa. Setelah melengkapi diri dengan pistol maka berangkatlah Tan ke Desa Chia-be dengan diantarkan oleh Tien-Jin, sahabat yang dikenalnya di perjalanan.
Setibanya di rumah Sensei Choa, Tan tak langsung ditanya soal penyakitnya. Hal itu bukanlah kebiasaan Sensei Choa ketika ada pasien yang datang ke rumahnya. Tan kemudian dijamu di ruang tamu dengan disuguhi teh panas. Mereka lantas berbincang-bincang atas peristiwa yang menarik perhatian kala itu.
Sang Sensei dengan gembira menceritakan soal sejarah hidupnya dalam mengobati pasien. Namun demikian, layaknya tabib China lainnya, Sensei Choa tetap menjaga rahasia ramuan obat-obatan dan ilmu kesehatan yang diperolehnya dari turun temurun itu.
“Tak boleh rahasia itu dibuka kepada yang bukan turunannya. Demikianlah kedukunan Tionghoa itu (kepintaran khususnya) tidak menjadi kepunyaan nasional, melainkan tinggal dimonopoli oleh tiap-tiap keluarga saja,” kata Tan.
Sensei Choa tak perlu mempromosikan dirinya. Sebab tanpa itu pun namanya sudah terkenal padahal Sensei Choa tinggal di desa kecil. Banyak orang dari berbagai desa datang ke rumahnya untuk berobat.
Usai berbincang, Tan lantas diajak Sensei Choa ke ruang periksa. Ruangan itu dipenuhi oleh berbagai macam obat yang berasal dari ramuan tumbuh-tumbuhan herbal. Di kamar itu Tan diperiksa meski saat berbincang tadi Sensei secara tak disadari Tan telah memeriksanya.
Sensei pun bekerja. Nadi tangan, pelupuk mata, warna kuku dan warna lidah Tan tak lupa diperiksanya. Ia kemudian menuliskan diagnosanya itu ke sebuah kertas sambil menulis resep obat yang cocok.
“Sensei Choa mengatakan bahwa badan saya amat panas, singku chin diat. Istilah ini acapkali benar dipakai oleh dukun Tionghoa. Yang dimaksudkan badan panas ialah darah yang terlalu panas. Menurut kedukunan Tionghoa maka darah panas itu menyebabkan kuranya nafsu makan, kurang kuatnya pencernaan dan kurang nyenyaknya tidur. Sensei Tionghoa dalam hal ini berusaha mendinginkan darah itu,” kata Tan.
Untuk mendinginkan darah, Tan diminta memakan bebek yang dimasak dengan obat. Tiap satu minggu Tan harus memakan satu bebek selama enam minggu. Kemudian memakan penyu yang hidup di dekat sawah.
Tan menuruti nasihat Sensei Choa. Tan memakan semua makanan dan obat yang diresepkan. Selang berapa lama, Tan merasakan perubahan pada badannya. Tan merasa lebih sehat dari sebelumnya. Kesehatannya tak lagi terganggu jika ia makan banyak daging. Tidurnya nyenyak, pusing, sakit perut dan mudah masuk angin tak lagi dialaminya.
Tan sangat menghargai jasa sang Sensei. Meski dunia pengobatan Tionghoa tak lepas dari banyak dongeng, Tan akhirnya mempercayai kehebatannya.
0 komentar:
Posting Komentar