Sriwijaya (disebut juga Srivijaya; dalam bahasa Thailan: ศรีวิชัย atau "Ṣ̄rī
wichạy") merupakan kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau
Sumatera dan banyak memberi pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan
membentang dari Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti
"bercahaya" atau "gemilang", dan wijaya berarti
"kemenangan" atau "kejayaan", maka nama Sriwijaya bermakna
"kemenangan yang gilang-gemilang".
Letak
Kerajaan
Merupakan kerajaan yang berdiri di Sumatra pada abad ke-7. Pendirinya
adalah Dapunta Hyang, Sriwijaya memiliki sebutan Kerajaan Nasional I sebab
pengaruh kekuasaannya mencakup hampir seluruh Nusantara dan negara-negara di
sekitarnya. Letaknya sangat strategis. Wilayahnya meliputi tepian Sungai Musi
di Sumatra Selatan sampai ke Selat Malaka (merupakan jalur perdagangan India –
Cina pada saat itu), Selat Sunda, Selat Bangka, Jambi, dan Semenanjung Malaka.
Catatan
sejarah
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang
pendeta Tiongkok, I Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun
671 dan tinggal selama 6 bulan. Selanjutnya prasasti yang paling tua mengenai
Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di
Palembang.
Tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai Sriwijaya dalam sejarah
Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing.
Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai tahun
1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam
surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedès menyatakan bahwa referensi
Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya dibaca "Sribhoja",
dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai Arkeologi
Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa awal atau proto
Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan Cengal, Kabupaten Ogan
Komering Ilir, Sumatera Selatan. Sayang, kepala perahu kuno itu sudah hilang
dan sebagian papan perahu itu digunakan justru buat jembatan. Tercatat ada 17
keping perahu yang terdiri dari bagian lunas, 14 papan perahu yang terdiri dari
bagian badan dan bagian buritan untuk menempatkan kemudi. Perahu ini dibuat
dengan teknik pasak kayu dan papan ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini
sendiri dikenal dengan sebutan teknik tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai
perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-artefak lain yang berhubungan dengan
temuan perahu, seperti tembikar, keramik, dan alat kayu.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar
Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan
tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa
Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme Belanda.
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa menyebutnya
Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa Sanskerta dan
bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh. Bangsa Arab
menyebutnya Zabaj dan Khmer menyebutnya Malayu. Banyaknya nama merupakan alasan
lain mengapa Sriwijaya sangat sulit ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus
ditemukan keterangan tentang adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan
berkaitan dengan Sriwijaya.
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat
bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan
Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang), tepatnya di
sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala Kerajaan
Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang menunjukkan
bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air, yaitu jaringan kanal,
parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang dipastikan situs ini
adalah buatan manusia.
Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada
kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di
provinsi Jambi sekarang), Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra
Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram
(Kedah sekarang).
1) Berita dari Cina
Dalam perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India, I-Tsing
pendeta dari Cina, singgah di Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan dan
mempelajari paramasastra atau tata bahasa Sanskerta. Kemudian, bersama guru
Buddhis, Sakyakirti, ia menyalin kitab Hastadandasastra ke dalam bahasa Cina.
Kesimpulan I-Tsing mengenai Sriwijaya adalah negara ini telah maju dalam bidang
agama Buddha. Pelayarannya maju karena kapal-kapal India singgah di sana dan
ditutupnya Jalan Sutra oleh bangsa Han. Buddhisme di Sriwijaya dipengaruhi
Tantraisme, namun disiarkan pula aliran Buddha Mahayana. I-Tsing juga
menyebutkan bahwa Sriwijaya telah menaklukkan daerah Kedah di pantai barat
Melayu pada tahun 682 – 685.
Berita Cina dari dinasti Tang menyebutkan bahwa Shi-li-fo-shih (Sriwijaya)
adalah kerajaan Buddhis yang terletak di Laut Selatan. Adapun berita sumber
dari dinasti Sung menyebutkan bahwa utusan Cina sering datang ke San-fo-tsi.
Diyakini bahwa yang disebut San-fo-tsi itu adalah Sriwijaya.
2) Berita dari Arab
Berita Arab menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu Hordadheh
mengatakan bahwa Raja Zabag banyak menghasilkan emas. Setiap tahunnya emas yang
dihasilkan seberat 206 kg. Berita lain disebutkan oleh Alberuni. Ia mengatakan
bahwa Zabag lebih dekat dengan Cina daripada India. Negara ini terletak di
daerah yang disebut Swarnadwipa (Pulau Emas) karena banyak menghasilkan emas.
3) Berita dari India
Prasasti Leiden Besar yang ditemukan oleh raja-raja dari dinasti Cola
menyebutkan adanya pemberian tanah Anaimangalam kepada biara di Nagipatma.
Biara tersebut dibuat oleh Marawijayattunggawarman, keturunan keluarga
Syailendra yang berkuasa di Sriwijaya dan Kataka.
Prasasti Nalanda menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa dari Nalanda, India,
telah membebaskan lima buah desa dari pajak. Sebagai imbalannya, kelima desa
itu wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut ilmu
di Kerajaan Nalanda. Hal ini merupakan wujud penghargaan sebab Raja Sriwijaya
saat itu, Balaputradewa, mendirikan vihara di Nalanda. Selain itu, prasasti
Nalanda juga menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa sebagai raja terakhir dinasti
Syailendra yang terusir dari Jawa meminta kepada Raja Nalanda untuk mengakui
hak-haknya atas dinasti Syailendra.
4) Berita dari dalam negeri
Sumber-sumber sejarah dalam negeri mengenai Sriwijaya adalah prasasti-
prasasti berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno:
- Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 Saka (683 M) ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat Palembang.
- Prasasti Talang Tuo berangka tahun 606 Saka (684 M) ditemukan di sebelah barat Pelembang.
- Prasasti Kota Kapur berangka tahun 608 Saka (686 M) ditemukan di Bangka. Prasasti ini menjadi bukti serangan Sriwijaya terhadap Tarumanegara yang membawa keruntuhan kerajaan tersebut, terlihat dari bunyi: "Menghukum bumi Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya."
- Prasasti Karang Berahi berangka tahun 608 Saka (686 M). Isi prasasti ini memperjelas bahwa secara politik, Sriwijaya bukanlah negara kecil, melainkan memiliki wilayah yang luas dan kekuasaannya yang besar. Prasasti ini juga memuat penaklukan Jambi.
- Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun). Prasasti ini menyebutkan bahwa negara Sriwijaya berbentuk kesatuan dan menegaskan kedudukan putra-putra raja: Yuwaraja (putra mahkota), Pratiyuwaraja (putra mahkota kedua), dan Rajakumara (tidak berhak menjadi raja).
- Prasasti Ligor berangkat tahun 697 Saka (775 M) ditemukan di Tanah Genting Kra. Prasasti ini memuat kisah penaklukan Pulau Bangka dan Tanah Genting Kra (Melayu) oleh Sriwijaya
- Prasasti Palas Pasemah (tidak berangka tahun) ditemukan di Lampung berisi penaklukan Sriwijaya terhadap Kerajaan Tulangbawang pada abad ke-7.
Dari sumber-sumber sejarah tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, pendiri Kerajaan Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanegara yang
berkedudukan di Minangatwan. Kedua, Raja Dapunta Hyang berusaha memperluas
wilayah kekuasaannya dengan menaklukkan wilayah di sekitar Jambi. Ketiga,
Sriwijaya semula tidak berada di sekitar Pelembang, melainkan di Minangatwan,
yaitu daerah pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri.
Setelah berhasil menaklukkan Palembang, barulah pusat kerajaan dipindah dari
Minangatwan ke Palembang.
Pembentukan
dan pertumbuhan
Belum banyak bukti fisik mengenai kerajaan Sriwijaya yang ditemukan.
Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan serta merupakan negara bahari. Beberapa
ahli memperdebatkan kawasan yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sriwijaya,
selain itu kemungkinan besar Sriwijaya biasah memindahkan pusat
pemerintahannya, namun kawasan yang menjadi ibukota tetap diperintah secara
langsung oleh penguasa.
Kemaharajaan Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I Tsing,
dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah
kepemimpinan Dapunta Hyang. Diketahui, Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti
tertua yang ditulis dalam bahasa Melayu. Para ahli berpendapat bahwa prasasti
ini mengadaptasi ortografi India untuk menulis prasasti ini. Di abad ke-7 ini,
orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah
menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Kota Kapur yang
berangka tahun 686 ditemukan di pulau Bangka, kemaharajaan ini telah menguasai
bagian selatan Sumatera, pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung. Prasasti
ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer
untuk menghukum Bhumi Jawa yang tidak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini
bersamaan dengan runtuhnya Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di
Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Kemungkinan yang
dimaksud dengan Bhumi Jawa adalah Tarumanegara. Sriwijaya tumbuh dan berhasil
mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut
China Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.
Ekspansi Sriwijaya ke Jawa dan Semenanjung Malaya, menjadikan kerajaan ini
mengendalikan dua pusat perdagangan utama di Asia Tenggara. Berdasarkan
observasi, ditemukan reruntuhan candi-candi Sriwijaya di Kamboja serta
Thailand. Pada abad ke-7, pelabuhan Champa di sebelah timur Indochina mulai
mengalihkan banyak pedagang dari Sriwijaya. Untuk mencegah hal tersebut,
Maharaja Dharmasetu melancarkan beberapa serangan ke kota-kota pantai di
Indochina. Sriwijaya meneruskan dominasinya atas Kamboja, sampai raja Khmer
Jayawarman II, pendiri kemaharajaan Khmer, memutuskan hubungan dengan Sriwijaya
pada abad yang sama. Di akhir abad ke-8 beberapa kerajaan di Jawa, antara lain
Tarumanegara dan Holing berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Menurut catatan,
pada masa ini pula wangsa Sailendra bermigrasi ke Jawa Tengah dan berkuasa di
sana.
Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi penerus kerajaan. Ia berkuasa pada
periode 792 sampai 835. Tidak seperti Dharmasetu yang ekspansionis,
Samaratungga tidak melakukan ekspansi militer, tetapi lebih memilih untuk
memperkuat penguasaan Sriwijaya di Jawa. Selama masa kepemimpinannya, ia
membangun candi Borobudur di Jawa Tengah yang selesai pada tahun 825.
Agama
Sebagai pusat pengajaran Buddha Vajrayana, Sriwijaya menarik banyak
peziarah dan sarjana dari negara-negara di Asia. Antara lain pendeta dari
Tiongkok I Tsing, yang melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan
studinya di Universitas Nalanda, India, pada tahun 671 dan 695, I Tsing
melaporkan bahwa Sriwijaya menjadi rumah bagi sarjana Buddha sehingga menjadi
pusat pembelajaran agama Buddha. Selain berita diatas, terdapat berita yang
dibawakan oleh I Tsing, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang
belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.
Terdapat lebih dari 1000 pandita
Buddhis di Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan Dharma dengan baik.
Mereka menganalisa dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana yang ada di
India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan
yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke
Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah
Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau 2
tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat.
Pengunjung yang datang ke pulau ini menyebutkan bahwa koin emas telah
digunakan di pesisir kerajaan. Selain itu ajaran Buddha aliran Buddha Hinayana
dan Mahayana juga turut berkembang di Sriwijaya. Menjelang akhir abad ke-10,
Atiśa, seorang sarjana Buddha asal Benggala yang berperan dalam mengembangkan
Buddha Vajrayana di Tibet menyebutkan ditulis pada masa pemerintahan Sri
Cudamani Warmadewa penguasa Sriwijaya nagara di Malayagiri di Suvarnadvipa.
Kerajaan Sriwijaya banyak dipengaruhi budaya India. Peranannya dalam agama
Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha di Ligor,
Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui perdagangan
dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga secara langsung
turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.
Sangat dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat
perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan ulama
muslim dari Timur Tengah, sehingga beberapa kerajaan yang semula merupakan
bagian dari Sriwijaya, kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-kerajaan
Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
"... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan
Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan
baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha,
yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang
biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal
dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum
dilanjutkan di India".
Gambaran Sriwijaya menurut I Tsing.
Budaya
Berdasarkan berbagai sumber sejarah, sebuah masyarakat yang kompleks dan
kosmopolitan yang sangat dipengaruhi alam pikiran Budha Wajrayana digambarkan
bersemi di ibu kota Sriwijaya. Beberapa prasasti Siddhayatra abad ke-7 seperti
Prasasti Talang Tuo menggambarkan ritual Budha untuk memberkati peristiwa penuh
berkah yaitu peresmian taman Sriksetra, anugerah Maharaja Sriwijaya untuk
rakyatnya. Prasasti Telaga Batu menggambarkan kerumitan dan tingkatan jabatan
pejabat kerajaan, sementara Prasasti Kota Kapur menyebutkan keperkasaan
balatentara Sriwijaya atas Jawa. Semua prasasti ini menggunakan bahasa Melayu
Kuno, leluhur bahasa Melayu dan bahasa Indonesia modern. Sejak abad ke-7,
bahasa Melayu kuno telah digunakan di Nusantara. Ditandai dengan ditemukannya
berbagai prasasti Sriwijaya dan beberapa prasasti berbahasa Melayu Kuno di
tempat lain, seperti yang ditemukan di pulau Jawa. Hubungan dagang yang
dilakukan berbagai suku bangsa Nusantara menjadi wahana penyebaran bahasa
Melayu, karena bahasa ini menjadi alat komunikasi bagi kaum pedagang. Sejak
saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan digunakan secara meluas oleh
banyak penutur di Kepulauan Nusantara.
Meskipun disebut memiliki kekuatan ekonomi dan keperkasaan militer,
Sriwijaya hanya meninggalkan sedikit tinggalan purbakala di jantung negerinya
di Sumatera. Sangat berbeda dengan episode Sriwijaya di Jawa Tengah saat
kepemimpinan wangsa Syailendra yang banyak membangun monumen besar; seperti
Candi Kalasan, Candi Sewu, dan Borobudur. Candi-candi Budha yang berasal dari
masa Sriwijaya di Sumatera antara lain Candi Muaro Jambi, Candi Muara Takus,
dan Biaro Bahal. Akan tetapi tidak seperti candi periode Jawa Tengah yang
terbuat dari batu andesit, candi di Sumatera terbuat dari bata merah.
Beberapa arca bersifat Budhisme, seperti berbagai arca Budha yang ditemukan
di Bukit Seguntang, Palembang, dan arca-arca Bodhisatwa Awalokiteswara dari
Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya, dan arca Maitreya dari Komering, Sumatera
Selatan. Semua arca-arca ini menampilkan keanggunan dan langgam yang sama yang
disebut "Seni Sriwijaya" atau "Langgam/Gaya Sriwijaya" yang
memperlihatkan kemiripan — mungkin diilhami — oleh langgam Amarawati India dan
langgam Syailendra Jawa (sekitar abad ke-8 sampai ke-9).
Perdagangan
Di dunia perdagangan, Sriwijaya menjadi pengendali jalur perdagangan antara
India dan Tiongkok, yakni dengan penguasaan atas Selat Malaka dan Selat Sunda.
Orang Arab mencatat bahwa Sriwijaya memiliki aneka komoditas seperti kapur
barus, kayu gaharu, cengkeh, pala, kepulaga, gading, emas, dan timah, yang
membuat raja Sriwijaya sekaya raja-raja di India. Kekayaan yang melimpah ini
telah memungkinkan Sriwijaya membeli kesetiaan dari vassal-vassal-nya di
seluruh Asia Tenggara. Dengan berperan sebagai entreport atau pelabuhan utama
di Asia Tenggara, dengan mendapatkan restu, persetujuan, dan perlindungan dari
Kaisar China untuk dapat berdagang dengan Tiongkok, Sriwijaya senantiasa
mengelola jejaring perdagangan bahari dan menguasi urat nadi pelayaran antara
Tiongkok dan India.
Karena alasan itulah Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya
dengan selalu mengawasi dan sering kali memerangi pelabuhan pesaing di negara
jirannya. Keperluan untuk menjaga monopoli perdagangan inilah yang mendorong
Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar pelabuhan
pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala Sriwijaya.
Bandar Malayu di Jambi, Kota Kapur di pulau Bangka, Tarumanagara dan pelabuhan
Sunda di Jawa Barat, Kalingga di Jawa Tengah, dan bandar Kedah dan Chaiya di
semenanjung Melaya adalah beberapa bandar pelabuhan yang ditaklukan dan diserap
kedalam lingkup pengaruh Sriwijaya. Disebutkan dalam catatan sejarah Champa
adanya serangkaian serbuan angkatan laut yang berasal dari Jawa terhadap
beberapa pelabuhan di Champa dan Kamboja. Mungkin angkatan laut penyerbu yang dimaksud
adalah armada Sriwijaya, karena saat itu wangsa Sailendra di Jawa adalah bagian
dari mandala Sriwijaya. Hal ini merupakan upaya Sriwijaya untuk menjamin
monopoli perdagangan laut di Asia Tenggara dengan menggempur bandar pelabuhan
pesaingnya. Sriwijaya juga pernah berjaya dalam hal perdagangan sedari tahun
670 hingga 1025 M.
Kejayaan bahari Sriwijaya terekam di relief Borobudur yaitu menggambarkan
Kapal Borobudur, kapal kayu bercadik ganda dan bertiang layar yang melayari
lautan Nusantara sekitar abad ke-8 Masehi. Fungsi cadik ini adalah untuk
menyeimbangkan dan menstabilkan perahu. Cadik tunggal atau cadik ganda adalah
ciri khas perahu bangsa Austronesia dan perahu bercadik inilah yang membawa
bangsa Austronesia berlayar di seantero Asia Tenggara, Oseania, dan Samudra
Hindia. Kapal layar bercadik yang diabadikan dalam relief Borobudur bisa jadi
merupakan jenis kapal yang digunakan armada Sailendra dan Sriwijaya dalam
melakukan pelayaran antar pulaunya.
Selain menjalin hubungan dagang dengan India dan Tiongkok, Sriwijaya juga
menjalin perdagangan dengan kawasan Arab. Kemungkinan utusan Maharaja Sri
Indrawarman yang mengantarkan surat kepada khalifah Umar bin Abdul-Aziz dari
Bani Umayyah tahun 718, kembali ke Sriwijaya dengan membawa hadiah Zanji (budak
wanita berkulit hitam), dan kemudian dari kronik Tiongkok disebutkan
Shih-li-fo-shih dengan rajanya Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indrawarman) pada tahun
724 mengirimkan hadiah untuk kaisar Cina, berupa ts'engchi (bermaksud sama
dengan Zanji dalam bahasa Arab).
Pada paruh pertama abad ke-10, di antara kejatuhan dinasti Tang dan naiknya
dinasti Song, perdagangan dengan luar negeri cukup marak, terutama Fujian,
kerajaan Min dan kerajaan Nan Han dengan negeri kayanya Guangdong. Tak
diragukan lagi Sriwijaya mendapatkan keuntungan dari perdagangan ini. Pada masa
inilah diperkirakan rakyat Sriwijaya mulai mengenal buah semangka (Citrullus
lanatus (Thunb.) Matsum. & Nakai), yang masuk melalui perdagangan mereka.
Hubungan
dengan wangsa Sailendra
Munculnya keterkaitan antara Sriwijaya dengan dinasti Sailendra dimulai
karena adanya nama Śailendravamśa pada beberapa prasasti di antaranya pada
prasasti Kalasan di pulau Jawa, prasasti Ligor di selatan Thailand, dan
prasasti Nalanda di India. Sementara pada prasasti Sojomerto dijumpai nama
Dapunta Selendra. Karena prasasti Sojomerto ditulis dalam bahasa Melayu dn
bahasa Melayu umumnya digunakan pada prasasti-prasasti di Sumatera maka diduga
wangsa Sailendra berasal dari Sumatera, Walaupun asal usul bahasa melayu ini
masih menunggu penelitian sampai sekarang.
Majumdar berpendapat dinasti Sailendra ini terdapat di Sriwijaya
(Suwarnadwipa) dan Medang (Jawa), keduanya berasal dari Kalinga di selatan
India. Kemudian Moens menambahkan kedatangan Dapunta Hyang ke Palembang,
menyebabkan salah satu keluarga dalam dinasti ini pindah ke Jawa. Sementara
Poerbatjaraka berpendapat bahwa dinasti ini berasal dari Nusantara, didasarkan
atas Carita Parahiyangan kemudian dikaitkan dengan beberapa prasasti lain di
Jawa yang berbahasa Melayu Kuna di antaranya prasasti Sojomerto.
Hubungan
dengan kekuatan regional
Untuk memperkuat posisinya atas penguasaan kawasan Asia Tenggara, Sriwijaya
menjalin hubungan diplomasi dengan kekaisaran China, dan secara teratur
mengantarkan utusan beserta upeti. Sejarawan S.Q. Fatimi menyebutkan bahwa pada
tahun 100 Hijriyah (718 M), seorang maharaja Sriwijaya (diperkirakan adalah Sri
Indrawarman) mengirimkan sepucuk surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari
Kekhalifahan Umayyah, yang berisi permintaan kepada khalifah untuk mengirimkan
ulama yang dapat menjelaskan ajaran dan hukum Islam kepadanya. Surat itu
dikutip dalam Al-'Iqd Al-Farid karya Ibnu Abdu Rabbih (sastrawan Kordoba,
Spanyol), dan dengan redaksi sedikit berbeda dalam Al-Nujum Az-Zahirah fi Muluk
Misr wa Al-Qahirah karya Ibnu Tagribirdi (sastrawan Kairo, Mesir).
" Dari Raja sekalian para raja yang juga adalah keturunan ribuan raja,
yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang kebun binatangnya
dipenuhi ribuan gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua sungai yang
mengairi tanaman lidah buaya, rempah wangi, pala, dan jeruk nipis, yang aroma
harumnya menyebar hingga 12 mil. Kepada Raja Arab yang tidak menyembah
tuhan-tuhan lain selain Allah. Aku telah mengirimkan kepadamu bingkisan yang
tak seberapa sebagai tanda persahabatan. Kuharap engkau sudi mengutus seseorang
untuk menjelaskan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku."
Surat Maharaja Sriwijaya kepada
Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Peristiwa ini membuktikan bahwa Sriwijaya telah menjalin hubungan
diplomatik dengan dunia Islam atau dunia Arab. Meskipun demikian surat ini
bukanlah berarti bahwa raja Sriwijaya telah memeluk agama Islam, melainkan
hanya menunjukkan hasrat sang raja untuk mengenal dan mempelajari berbagai
hukum, budaya, dan adat-istiadat dari berbagai rekan perniagaan dan peradaban yang
dikenal Sriwijaya saat itu; yakni Tiongkok, India, dan Timur Tengah.
Pada masa awal, Kerajaan Khmer merupakan daerah jajahan Sriwijaya. Banyak
sejarawan mengklaim bahwa Chaiya, di propinsi Surat Thani, Thailand Selatan,
sebagai ibu kota kerajaan tersebut. Pengaruh Sriwijaya nampak pada bangunan
pagoda Borom That yang bergaya Sriwijaya. Setelah kejatuhan Sriwijaya, Chaiya
terbagi menjadi tiga kota yakni (Mueang) Chaiya, Thatong (Kanchanadit), dan
Khirirat Nikhom.
Seperti disebutkan sebelumnya, Sriwijaya di Sumatra meluaskan wilayah degan
perpindahan Wangsa Sailendra ke Jawa. Pada kurun waktu tertentu wangsa
Sailendra sebagai anggota mandala Sriwijaya berkuasa atas Sriwijaya dan Jawa.
Maka Wangsa Sailendra berkuasa sekaligus atas Sriwijaya dan Kerajaan Medang,
yaitu Sumatera dan Jawa. Akan tetapi akibat pertikaian suksesi singgasana
Sailendra di Jawa antara Balaputradewa melawan Rakai Pikatan dan
Pramodawardhani, hubungan antara Sriwijaya dan Medang memburuk. Balaputradewa
kembali ke Sriwijaya dan akhirnya berkuasa di Sriwijaya, dan permusuhan ini
diwariskan hingga beberapa generasi berikutnya. Dalam prasasti Nalanda yang
bertarikh 860 Balaputra menegaskan asal-usulnya sebagai keturunan raja
Sailendra di Jawa sekaligus cucu Sri Dharmasetu raja Sriwijaya. Dengan kata
lain ia mengadukan kepada raja Dewapaladewa, raja Pala di India, bahwa haknya
menjadi raja Jawa dirampas Rakai Pikatan. Persaingan antara Sriwijaya di
Sumatera dan Medang di Jawa ini kian memanas ketika raja Dharmawangsa Teguh
menyerang Palembang pada tahun 990, tindakan yang kemudian dibalas dengan
penghancuran Medang pada tahun 1006 oleh Raja Wurawari ( sebagai sekutu
Sriwijaya di Jawa) atas dorongan Sriwijaya.
Sriwijaya juga berhubungan dekat dengan kerajaan Pala di Benggala, pada
prasasti Nalanda berangka 860 mencatat bahwa raja Balaputradewa mendedikasikan
sebuah biara kepada Universitas Nalanda. Relasi dengan Dinasti Chola di selatan
India juga cukup baik. Dari prasasti Leiden disebutkan raja Sriwijaya di Kataha
Sri Mara-Vijayottunggawarman telah membangun sebuah vihara yang dinamakan
dengan Vihara Culamanivarmma, namun menjadi buruk setelah Rajendra Chola I naik
tahta yang melakukan penyerangan pada abad ke-11. Kemudian hubungan ini kembali
membaik pada masa Kulothunga Chola I, di mana raja Sriwijaya di Kadaram
mengirimkan utusan yang meminta dikeluarkannya pengumuman pembebasan cukai pada
kawasan sekitar Vihara Culamanivarmma tersebut. Namun pada masa ini Sriwijaya
dianggap telah menjadi bagian dari dinasti Chola. Kronik Tiongkok menyebutkan
bahwa Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) sebagai raja San-fo-ts'i, membantu
perbaikan candi dekat Kanton pada tahun 1079. Pada masa dinasti Song candi ini
disebut dengan nama Tien Ching Kuan, dan pada masa dinasti Yuan disebut dengan
nama Yuan Miau Kwan
Masa
kejayaan
Kemaharajaan Sriwijaya bercirikan kerajaan maritim. Mengandalkan hegemoni
pada kekuatan armada lautnya dalam menguasai alur pelayaran, jalur perdagangan,
menguasai dan membangun beberapa kawasan strategis sebagai pangkalan armadanya
dalam mengawasi, melindungi kapal-kapal dagang, memungut cukai, serta untuk
menjaga wilayah kedaulatan dan kekuasaanya. Dari catatan sejarah dan bukti
arkeologi, pada abad ke-9 Sriwijaya telah melakukan kolonisasi di hampir
seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,
Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas
Selat Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute
perdagangan rempah dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas
setiap kapal yang lewat. Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan
dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok, dan India.
Berdasarkan sumber catatan sejarah dari Arab, Sriwijaya disebut dengan nama
Sribuza. Pada tahun 955 M, Al Masudi, seorang musafir (pengelana) sekaligus
sejarawan Arab klasik menulis catatan tentang Sriwijaya. Dalam catatan itu,
digambarkan Sriwijaya adalah sebuah kerajaan besar yang kaya raya, dengan
tentara yang sangat banyak. Disebutkan kapal yang tercepat dalam waktu dua
tahun pun tidak cukup untuk mengelilingi seluruh pulau wilayahnya. Hasil bumi
Sriwijaya adalah kapur barus, kayu gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala,
kapulaga, gambir dan beberapa hasil bumi lainya.
Catatan lain menuliskan bahwa Sriwijaya maju dalam bidang agraris. Ini
disimpulkan dari seorang ahli dari Bangsa Persia yang bernama Abu Zaid Hasan
yang mendapat keterangan dari Sujaimana, seorang pedagang Arab. Abu Zaid
menulis bahwasanya Kerajaan Zabaj (Sriwijaya -sebutan Sriwijaya oleh bangsa Arab
pada masa itu-) memiliki tanah yang subur dan kekuasaaan yang luas hingga ke
seberang lautan. Sriwijaya menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara
sepanjang abad ke-10, akan tetapi pada akhir abad ini Kerajaan Medang di Jawa
Timur tumbuh menjadi kekuatan bahari baru dan mulai menantang dominasi
Sriwijaya. Berita Tiongkok dari Dinasti Song menyebut Kerajaan Sriwijaya di
Sumatra dengan nama San-fo-tsi, sedangkan Kerajaan Medang di Jawa dengan nama
Cho-po. Dikisahkan bahwa, San-fo-tsi dan Cho-po terlibat persaingan untuk
menguasai Asia Tenggara. Kedua negeri itu saling mengirim duta besar ke
Tiongkok. Utusan San-fo-tsi yang berangkat tahun 988 tertahan di pelabuhan
Kanton ketika hendak pulang, karena negerinya diserang oleh balatentara Jawa.
Serangan dari Jawa ini diduga berlangsung sekitar tahun 990-an, yaitu antara
tahun 988 dan 992 pada masa pemerintahan Sri Cudamani Warmadewa.
Pada musim semi tahun 992 duta Sriwijaya tersebut mencoba pulang namun
kembali tertahan di Champa karena negerinya belum aman. Ia meminta kaisar Song
agar Tiongkok memberi perlindungan kepada San-fo-tsi. Utusan Jawa juga tiba di
Tiongkok tahun 992. Ia dikirim oleh rajanya yang naik takhta tahun 991. Raja
baru Jawa tersebut adalah Dharmawangsa Teguh.
Kerajaan Medang berhasil merebut Palembang pada tahun 992 untuk sementara
waktu, namun kemudian pasukan Medang berhasil dipukul mundur oleh pasukan
Sriwijaya. Prasasti Hujung Langit tahun 997 kembali menyebutkan adanya serangan
Jawa terhadap Sumatera. Rangkaian serangan dari Jawa ini pada akhirnya gagal
karena Jawa tidak berhasil membangun pijakan di Sumatera. Menguasai ibu kota di
Palembang tidak cukup karena pada hakikatnya kekuasaan dan kekuatan mandala
Sriwijaya tersebar di beberapa bandar pelabuhan di kawasan Selat Malaka.
Maharaja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa, berhasil lolos keluar dari ibu kota
dan berkeliling menghimpun kekuatan dan bala bantuan dari sekutu dan raja-raja
bawahannya untuk memukul mundur tentara Jawa.
Sri Cudamani Warmadewa kembali memperlihatkan kecakapan diplomasinya,
memenangi dukungan Tiongkok dengan cara merebut hati Kaisarnya. Pada tahun
1003, ia mengirimkan utusan ke Tiongkok dan mengabarkan bahwa di negerinya
telah selesai dibangun sebuah candi Buddha yang didedikasikan untuk mendoakan
agar Kaisar Tiongkok panjang usia. Kaisar Tiongkok yang berbesar hati dengan
persembahan itu menamai candi itu cheng tien wan shou dan menganugerahkan genta
yang akan dipasang di candi itu. (Candi Bungsu, Terletak di Muara Takus).
Serangan dari Medang ini membuka mata Sriwijaya betapa berbahayanya ancaman
Jawa, maka Maharaja Sriwijaya pun menyusun siasat balasan dan berusaha
menghancurkan Kerajaan Medang. Sriwijaya disebut berperan dalam menghancurkan
Kerajaan Medang di Jawa. Dalam prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa
Mahapralaya, yaitu peristiwa hancurnya istana Medang di Jawa Timur, di mana
Haji Wurawari dari Lwaram yang merupakan raja bawahan Sriwijaya, pada tahun
1006 atau 1016 menyerang dan menyebabkan terbunuhnya raja Medang terakhir
Dharmawangsa Teguh.
Masa
Kemunduran
Tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, yang merupakan raja dari dinasti
Chola di India selatan, mengirim ekspedisi laut untuk menyerang Kerajaan
Sriwijaya. Berdasarkan prasasti Tanjore bertarikh 1030, Kerajaan Chola telah
menaklukan daerah-daerah yang sebelumnya menjadi koloni Sriwijaya, dan berhasil
menawan raja Sriwijaya yang berkuasa waktu itu Sangrama-Vijayottunggawarman.
Selama beberapa dekade berikutnya, seluruh kekuasaan Sriwijaya berada dalam
pengaruh dinasti Chola. Meskipun demikian Rajendra Chola tetap memberikan
peluang kepada raja yang ditaklukannya untuk tetap berkuasa dengan syarat tetap
tunduk kepadanya.
Pengaruh invasi Rajendra Chola I, terhadap hegemoni Sriwijaya atas
raja-raja bawahannya melemah. Beberapa daerah taklukan melepaskan diri, sampai
muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru yang kemudian menguasai
kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan Semenanjung Malaya,
Sumatera, sampai Jawa bagian barat. Pada tahun 1079 dan 1088, catatan Cina
menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta besar pada Cina. Khususnya pada
tahun 1079, masing-masing duta besar tersebut mengunjungi Cina. Ini menunjukkan
bahwa ibu kota Sriwijaya selalu bergeser dari satu kota maupun kota lainnya
selama periode tersebut. Ekspedisi Chola mengubah jalur perdagangan dan
melemahkan Palembang, yang memungkinkan Jambi untuk mengambil kepemimpinan
Sriwijaya pada abad ke-11.
Berdasarkan sumber Tiongkok pada buku Chu-fan-chi yang ditulis pada tahun
1178, Chou-Ju-Kua menerangkan bahwa di kepulauan Asia Tenggara terdapat dua
kerajaan yang sangat kuat dan kaya, yakni San-fo-ts'i dan Cho-po (Jawa). Di
Jawa dia menemukan bahwa rakyatnya memeluk agama Budha dan Hindu, sedangkan
rakyat San-fo-ts'i memeluk Budha. Namun, istilah San-fo-tsi terutama pada tahun
1178 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan telah identik dengan
Dharmasraya. Dari daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut, ternyata adalah
wilayah jajahan Kerajaan Dharmasraya. Walaupun sumber Tiongkok tetap menyebut
San-fo-tsi sebagai kerajaan yang berada di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini
karena dalam Pararaton telah disebutkan Malayu.
Secara garis besar Kerajaan Sriwijaya mundur sejak abad ke-10 disebabkan
oleh faktor-faktor berikut:
- Perubahan keadaan alam di sekitar Palembang. Sungai Musi, Ogan Komering, dan sejumlah anak sungai lainnya membawa lumpur yang diendapkan di sekitar Palembang sehingga posisinya menjauh dari laut dan perahu sulit merapat.
- Letak Palembang yang makin jauh dari laut menyebabkan daerah itu kurang strategis lagi kedudukannya sebagai pusat perdagangan nasional maupun internasional. Sementara itu, terbukanya Selat Berhala antara Pulau Bangka dan Kepulauan Singkep dapat menyingkatkan jalur perdagangan internasional sehingga Jambi lebih strategis daripada Palembang.
- Dalam bidang politik, Sriwijaya hanya memiliki angkatan laut yang diandalkan. Setelah kekuasaan di Jawa Timur berkembang pada masa Airlangga, Sriwijaya terpaksa mengakui Jawa Timur sebagai pemegang hegemoni di Indonesia bagian timur dan Sriwijaya di bagian barat.
- Adanya serangan militer atas Sriwijaya. Serangan pertama dilakukan oleh Teguh Dharmawangsa terhadap wilayah selatan Sriwijaya (992) hingga menyebabkan utusan yang dikirim ke Cina tidak berani kembali. Serangan kedua dilakukan oleh Colamandala atas Semenanjung Malaya pada tahun 1017 kemudian atas pusat Sriwijaya pada tahun 1023 – 1030. Dalam serangan ini, Raja Sriwijaya ditawan dan dibawa ke India. Ketika Kertanegara bertakhta di Singasari juga ada usaha penyerangan terhadap Sriwijaya, namun baru sebatas usaha mengurung Sriwijaya dengan pendudukan atas wilayah Melayu. Akhir dari Kerajaan Sriwijaya adalah pendudukan oleh Majapahit dalam usaha menciptakan kesatuan Nusantara (1377).
Struktur
pemerintahan
Masyarakat Sriwjaya sangat majemuk, dan mengenal stratatifikasi sosial.
Pembentukan satu negara kesatuan dalam dimensi struktur otoritas politik
Sriwijaya, dapat dilacak dari beberapa prasasti yang mengandung informasi
penting tentang kadātuan, vanua, samaryyāda, mandala dan bhūmi.
Kadātuan dapat bermakna kawasan dātu, (tnah rumah) tempat tinggal bini
hāji, tempat disimpan mas dan hasil cukai (drawy) sebagai kawasan yang mesti
dijaga. Kadātuan ini dikelilingi oleh vanua, yang dapat dianggap sebagai
kawasan kota dari Sriwijaya yang di dalamnya terdapat vihara untuk tempat
beribadah bagi masyarakatnya. Kadātuan dan vanua ini merupakan satu kawasan
inti bagi Sriwijaya itu sendiri. Menurut Casparis, samaryyāda merupakan kawasan
yang berbatasan dengan vanua, yang terhubung dengan jalan khusus
(samaryyāda-patha) yang dapat bermaksud kawasan pedalaman. Sedangkan mandala
merupakan suatu kawasan otonom dari bhūmi yang berada dalam pengaruh kekuasaan
kadātuan Sriwijaya.
Penguasa Sriwijaya disebut dengan Dapunta Hyang atau Maharaja, dan dalam
lingkaran raja terdapat secara berurutan yuvarāja (putra mahkota),
pratiyuvarāja (putra mahkota kedua) dan rājakumāra (pewaris berikutnya).
Prasasti Telaga Batu banyak menyebutkan berbagai jabatan dalam struktur
pemerintahan kerajaan pada masa Sriwijaya. Menurut Prasasti Telaga Batu, selain
diceritakan kutukan raja Sriwijaya kepada siapa saja yang menentang raja,
diceritakan pula bermacam-macam jabatan dan pekerjaan yang ada pada zaman
Sriwijaya. Adapun, jabatan dan pekerjaan yang diceritakan tersebut adalah raja
putra (putra raja yang keempat), bhupati (bupati), senopati (komandan pasukan),
dan dandanayaka (hakim). Kemudian terdapat juga Tuha an watak wuruh (pengawas
kelompok pekerja), Adyaksi nijawarna/wasikarana (pandai besi/ pembuat senjata
pisau), kayastha (juru tulis), sthapaka (pemahat), puwaham (nakhoda kapal),
waniyaga (peniaga), pratisra (pemimpin kelompok kerja), marsi haji (tukang
cuci), dan hulun haji (budak raja).
Menurut kronik Cina Hsin Tang-shu, Sriwijaya yang begitu luas dibagi
menjadi dua. Seperti yang diterangkan diatas, Dapunta Hyang punya dua orang
anak yang diberi gelar putra mahkota, yakni yuvarāja (putra mahkota),
pratiyuvarāja (putra mahkota kedua). Maka dari itu, Ahmad Jelani Halimi
(profesor di Universiti Sains Malaysia) mengatakan bahwa untuk mencegah
perpecahan di antara anak-anaknya itulah, maka kemungkinan Kerajaan Sriwijaya
dibagi menjadi dua.
Raja
yang memerintah
Dari abad ke-7 sampai ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin
oleh raja-raja di bawah ini, yaitu:
- Dapunta Hyang Sri Jayanasa (671)
- Sri Indravarman Che-li-to-le-pa-mo (702)
- Rudra Vikraman Lieou-t’eng-wei-kong (728)
- Maharaja Wisnu Dharmmatunggadewa (760)
- Dharanindra Sanggramadhananjaya (775)
- Samaragrawira (782)
- Samaratungga (792)
- Balaputradewa (835)
- Sri Udayadityavarman Se-li-hou-ta-hia-li-tan (960)
- Hie-tche (Haji) (980)
- Sri CudamanivarmadevaSe-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa (988)
- Sri MaravijayottunggaSe-li-ma-la-pi (1008)
- Sumatrabhumi (1017)
- Sangramavijayottungga (1025)
- Rajendra Dewa KulottunggaTi-hua-ka-lo (1079)
- Rajendra II (1100)
- Rajendra III (1156)
- Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa (1183-1286)
- Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1286-1293)
- Srimat Sri Udayadityawarma Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa (1347)
Warisan
sejarah
Penemuan kemaharajaan Sriwijaya ini ditemukan pertama kali oleh Coedès pada
tahun 1920-an yang telah membangkitkan kesadaran bahwa suatu bentuk
kemaharajaan yang terdiri atas persekutuan kerajaan-kerajaan bahari, pernah
bangkit, tumbuh, dan berjaya pada masa lalu.
Pada abad ke-14 meskipun pengaruhnya telah memudar, wibawa dan gengsi
Sriwijaya masih digunakan sebagai sumber legitimasi politik. Sang Nila Utama yang
mengaku sebagai keturunan bangsawan Sriwijaya dari Bintan, bersama para
pengikut dan tentaranya yang terdiri dari Orang Laut, telah mendirikan Kerajaan
Singapura di Tumasik. Menurut Sejarah Melayu dan catatan sejarah China yang
ditulis Wang Ta Yuan, disebutkan bahwa Kerajaan Siam sempat menyerang kerajaan
Singapura pada kurun tahun 1330 hingga 1340. Serangan Siam ini berhasil dipukul
mundur.
Warisan terpenting Sriwijaya mungkin adalah bahasanya. yang Selama
berabad-abad, kekuatan ekononomi dan keperkasaan militernya telah berperan
besar atas tersebarluasnya penggunaan Bahasa Melayu Kuno di Nusantara,
setidaknya di kawasan pesisir. Bahasa ini menjadi bahasa kerja atau bahasa yang
berfungsi sebagai penghubung yang digunakan di berbagai bandar dan pasar di
kawasan Nusantara. Tersebar luasnya Bahasa Melayu Kuno ini mungkin yang telah
membuka dan memuluskan jalan bagi Bahasa Melayu sebagai bahasa nasional
Malaysia, dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern.
Adapun Bahasa Melayu Kuno masih tetap digunakan sampai pada abad ke-14 M.
Di samping Majapahit, kaum nasionalis Indonesia juga mengagungkan Sriwijaya
sebagai sumber kebanggaan dan bukti kejayaan masa lampau Indonesia.
Kegemilangan Sriwijaya telah menjadi sumber kebanggaan nasional dan identitas
daerah, khususnya bagi penduduk kota Palembang. Keluhuran Sriwijaya telah
menjadi inspirasi seni budaya, seperti lagu dan tarian tradisional Gending
Sriwijaya. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat selatan Thailand yang
menciptakan kembali tarian Sevichai yang berdasarkan pada keanggunan seni
budaya Sriwijaya. Di Indonesia, nama Sriwijaya telah digunakan dan diabadikan
sebagai nama nama dalam berbagai hal misal nama jalan di berbagai kota, maupun
nama universitas, nama perusahaan, dan nama di kemiliteran.
Source : Markijar.com
0 komentar:
Posting Komentar